Sabtu, 20 Desember 2014

KURANG VITAMIN A (KVA)



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya kami diberikan kesehatan serta kemampuan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Gizi Masyarakat berjudul “Kekurangan Vitamin A” dengan lancar tanpa halangan suatu apapun.
Penulisan makalah ini merupakan tugas mata kuliah Gizi Masyarakat dan sebagai persyaratan untuk memenuhi mata kuliah Gizi Masyarakat.
Dalam makalah ini penulis mengahrapkan agar makalah ini dapat di pergunakan oleh berbagai pihak terutama unutuk teman-teman sejawat serta dapat menjadi referensi pembuatan makalah tentang penyakit kekurangan vitamin A selanjutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat menjadi yang lebih baik. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Kendari 28 Agustus 2014

Kelompok 1
  



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (essensial) bagi manusia, karena zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan, vitamin A menngkatkan daya tahan tubuh. Tubuh memerlukan asupan vitamin yang cukup sebagai zat pengatur dan memperlancar proses metabolisme dalam tubuh. Sebagai vitamin yang larut lemak, vitamin A membangun selsel kulit dan memperbaiki sel-sel tubuh, menjaga dan melindungi kesehatan mata, menjaga tubuh dari infeksi, serta menjaga pertumbuhan tulang dan gigi. Karena fungsi tersebut, vitamin A sangat bagus dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
KVA merupakan suatu kondisi dimana mulai timbul gejala kekurangan konsumsi vitamin A. Defisiensi vitamin A dapat merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi. KVA dapat pula disebut kekurangan sekunder apabila disebabkan oleh gangguan penyerapan dan penggunaan vitamin A dalam tubuh, kebutuhan meningkat, atau karena gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A.
Kekurangan vitamin A masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama umur pada masa pertumbuhan (balita). Kekurangan vitamin A dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Kekurangan vitamin A dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain konsumsi makanan yang tidak cukup vitamin A dan provitamin A untuk jangka waktu yang lama, bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif, menu yang tidak seimbang (kurang lemak, protein, zink atau zat gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan vitamin A dan penggunaan vitamin A dalam tubuh, adanya gangguan penyerapan vitamin A dan provitamin A seperti pada penyakit-penyakit antara lain diare kronik, KEP dan lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A meningkat, adanya kerusakan hati yang menyebabkan gangguan pembentukan retinol binding protein (RBP) dan pre-albumin yang penting untuk penyerapan vitamin.
KVA sering timbul pada balita dan anak-anak. Di Indonesia, kecukupan gizi anak usia hingga tiga tahun seharusnya 350-400 RE per hari. Namun, dalam beberapa survei dikatakan bahwa 50% anak berusia 1-2 tahun tidak mengkonsumsi vitamin A dalam jumlah yang memadai karena faktor kemiskinan dan malnutrisi. Selama krisis ekonomi melanda Indonesia sejak tahun 1997, daya beli masyarakat menurun sehingga terjadi kecenderungan meningkatnya KVA pada ibu hamil dan balita.
B.   RUMUSAN MASALAH
a)         Apa sejarah Vitamin?
b)        Apa pengertian vitamin?
c)         Apa fungsi vitamin A bagi tubuh manusia ?
d)        Apa Patofisiologi Penyakit Kekurangan Vitamin A?
e)         Bagaimana Cara mencegah  dan  menanggulangi KVA?
f)         Apa saja makanan yang mengandung Vitamin A?
C.       TUJUAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a)            Pembaca mengerti akan sejarah vitamin.
b)            Pembaca mengerti akan definisi dari vitamin.
c)            Pembaca bisa mengetahui fungsi vitamin A
d)            Pembaca bisa mengetahui patofisiologi Vitamin A
e)            Pembaca bisa mengetahui cara mencegah dan menanggulangi Kekurangan Vitamin A.
f)             Pembaca bisa mengetahui makanan-makanan yang mengandung Vitamin A.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Sejarah Vitamin A
Sejarah penemuan vitamin dimulai oleh Eijkman yang pertama kali mengemukakanadanya zat yang bertindak sebagai faktor diet esensial dalam kasus penyakit beri-beri. Pada tahun1897 ia memberikan gambaran adanya suatu penyakit yang diderita oleh anak ayam yang serupa dengan beri-beri pada manusia. Gejala penyakit tersebut terjadi setelah binatang diberi makananyang terdiri atas`beras giling murni. Ternyata penyakit ini dapat disembuhkan dengan memberikan makanan sisa gilingan beras yang berupa serbuk. Hasil penemuan yang menyatakan bahwa dalam makanan ada faktor lain yang penting selain kabohidrat, lemak dan proteinsebagai energy, mendorong para ahli untuk meneliti lebih lanjut tentang vitamin, sehinggadiperoleh konsep tentang vitamin yang kita kenal sekarang. Pada saat ini terdapat lebih dari 20macam vitamin. Polish kemudian member nama faktor diet esensial ini dengan vitamin.Selanjutnya hasil pekerjaan Warburg tentang koenzim (1932-1935) dan kemudian penyelidikan R Kuhn dan P Kerrer menunjukkan adanya hubungan antara struktur kimia viatamin dengankoenzim.
Vitmain A ditemukan pada tahun 1913 oleh Mc. Collum dan Davis. Vitamin A adalah vitamin antioksidan yang larut dalam lemak dan penting bagi penglihatan dan pertumbuhantulang. Secara luas vitamin A merupakan nama generic yang menyatakan semua retinoid dan precursor/ provitamin A/ karotenid yang mempunyai aktivitas biologic sebagai retinol. Retinol diserap dalam bentuk prekursor.
B.       DEFINISI VITAMIN A
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur kimianya disebut retinol atau retina atau disebut juga dengan asam retinoat, terdapat pada jaringan hewan dimana retinol 90-95% disimpan pada hati.
Vitamin A adalah slah satu zat gizi dan golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit, khususnya diare dan penyakit infeksi). Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :
1.      Retinol
Retinol dapat dimanfaatkan langsung oleh tubuh karena umumnya sumber retinol diperoleh dar makanan hewani seperti telur, hati, munyak ikan yang mudah dicerna dalam tubuh.
2.      Betacarotene
Sering disebut pro-vitamin A, baru dapat dirasakan setelah mengalami proses pengolahan menjadi retinol. Sumber betacarotene berasal dari makanan yang berwarna orange atau hijau tua, seperti wortel, bayam, ubi kuning, mangga dan pepaya.
Retinol atau Retinal atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai faktor pencegahan xeropthalmia, berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf mata, Jumlah yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (KGA-2004) per hari 400 ug retinol untuk anak-anak dan dewasa 500 ug retinol.Tubuh menyimpan retinol dan betacarotene dalam hati dan mengambilnya jika tubuh memerlukannya.
Sumber vitamin A banyak terkandung dalam minyak ikan. Vitamin A1 (retinal) banyak terkandung dalam hati ikan laut. Vitamin A2 (retinol) atau 3-dehidro retinol, terutama terkandung dalam hati ikan tawar. Vitamin A yang berasal dari minyak ikan, sebagian besar ada dalam bentuk ester.
Vitamin A juga terkandung dalam bahan pangan, sperti mentega, kuning telur, keju, hati, daun hijau dan wortel. Warna hijau tubuh-tumbuhan merupakan petunjuk yang baik tingginya kadar karoten.



C.      FUNGSI VITAMIN A BAGI TUBUH
Berikut ini adalah fungsi vitamin A bagi manusia selain untuk kesehatan mata:
1.         Mengoptimalkan perkembangan janin
Vitamin A sangat penting bagi ibu hamil. Karena sifatnya mudah larut dalam air dan lemak sehingga diperlukan untuk kesehatan si jabang bayi. Seperti membantu perkembangan sel mata, organ mata, untuk pertumbuhan tulang, untuk kesehatan kulitnya, dan membantu perkembangan jantung.
2.         Menghambat sel kanker payudara
Berdasarkan penelitian terbaru ilmuan asal Amerika, diungkapkan bahwa vitamin A ini dapat menghambat pertumbuhan kanker yang sering menyerang wanita, yaitu kanker payudara. Walau tidak secara langsung, namun bentuk turunannya berupa asam retinoat atau retinol inilah yang akan menghambat pertumbuhan jaringan kanker itu sendiri.
3.         Meningkatkan kekebalan tubuh (Imunitas)
Vitamin A yang mengandung retinil palmitat dan retinil asetat dapat mencegah infeksi dari berbagai macam organisme kecil yang dapat merugikan tubuh. Seperti bakteri yang mencoba masuk dalam tubuh melalui pernafasan dan makanan.
4.         Menghambat proses penuaan dini
Vitamin A ini sendiri dapat menghasilkan antioksidan yang mana bisa menangkal radikal bebas. Radikal bebas ini adalah udara tidak bersih yang terhirup oleh organ pernafasan kita. Karena semakin tinggi reaksi antioksidan itu sendiri maka semakin banyak polusi yang masuk ke dalam tubuh. Namun dengan vitamin A ini, maka kerusakan akibat radikal bebas dapat dicegah untuk memperlambat proses penuaan pada kulit.


D.      PATOFISIOLOGI KVA
Beberapa penyakit akibat kekurangan vitamin A diantaranya adalah buta senja, xerosis konjuctiva, xerosis konjunctiva disertai bercak bitot, xerosis kornea, keratomalasia atau ulserasi kornea, jaringan parut, fundus xeraftalmia. Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan akibat kekurangan vitamin A pada mata, termasuk kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Kata xeroftalmia (bahasa latin) berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan pada selaput lendir (konjuctiva) dan selapt bening (kornea) mata (Wardani, 2012).
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau dari konsumsi makanan sehari-hari orang yang menderita KVA disebabkan oleh :
a.     Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau pro-vitamin A untuk jangka waktu yang lama
b.    Pada masa bayi tidak diberikan ASI eksklusif
c.     Menu yang tidak seimbang, yang diperlukan untu penyerapan danpenggunaan vitamin A di dalam tubuh
d.    Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada penyakit-penyakit antara lain, gangguan pada pankreas, diare kronik, KEP dan penyakit lainnya sehingga kebutuhan vitamin A meningkat
e.     Adanya kerusakan hati, spert pada kwashiorkor dan hepatitis kronik yang memyebabkan gangguan pembentukan RBP dan penyerapan vitamin A. (Saputra, 2012).
1.       Tanda – tanda dan Gejala Klinis
KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain. Akan etapi gambaran gangguan secara fisik dapat langsung terlihat oleh mata.
Kelainan kuit pada umumnya terlihat pada tungkai baeah bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit nampak kering dan bersisik. Kelainan ini selain diebabkan oleh KVA dapat juga disebabkan kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau KEP.
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika menderita penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.
Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
a).      Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang setelah lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat lingkungan yang kurang cahaya.
b).     Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
c).      Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tanda-tanda XI A ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda pada XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva, konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.
d).     Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea, kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
e).      Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea. Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia.
f).      Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
g).     Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendol
XN, XI A, XI B, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A dan X3 B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea.
Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum (Wardani, 2012).
E.       CARA MENCEGAH DAN MENANGGULANGI KVA
Melihat dampak yang dapat diakibatkan oleh kekurangan vitamin A seperti yang dijelaskan di atas, maka masalah defisiensi vitamin A ini tidak boleh diremehkan karena dapat menyebabkan kematian. Untuk mengatasi hal ini, ada beberapa langkah yang harus terus dilakukan, antara lain :
a.     Memperbaiki pola makan masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan sehingga masyarakat kita semakin gemar mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan.
b.    Melakukan fortifikasi vitamin A terhadap beberapa bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat dengan memperhatikan syarat-syarat fortifikasi, missal tidak menyebabkan perubahan rasa pada bahan makanan tersebut atau tidak menyebabkan kenaikan harga yang terlalu tinggi. Contoh bahan makanan yang dapat dilakukan fortifikasi adalah pada MSG atau pada mie instant
c.     Meningkatkan program pemberian suplemen vitamin A yang sudah berjalan pada kelompok sasaran yaitu :
1).     Bayi umur 6-12 bulan : diberikan kapsul vitamin A warna biru, dosis 100.000 UI setiap bulan februari dan agustus.
2).     Anak umur 1-5 tahun : diberikan kapsul vitamin A warna merah, dosis 200.00 UI setiap bulan februari dan agustus
3).     Ibu nifas : diberikan kapsul vitamin A dosis 200.000 UI, sehari setelah melahirkan dan diberikan lagi 24 jam kemudian (masing-masing satu kapsul ).
4).     Anak yang terserang campak : diberikan kapsul vitamin A dosis 200.000 UI.
d.      Pemberian imunisasi pada anak harus terus dipantau supaya terhindar dari penyakit infeksi.
e.       Mengkonsumsi makanan yang seimbang agar metabolisme vitamin A dalam tubuh dapat berjalan secara normal.
F.    MAKANAN YANG MENGANDUNG VITAMIN A
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Vitamin A untuk tubuh dapat di perolah melalui makan-makanan sebagai berikut:
1.         Sereal
Berasal dari jagung kuning dan gandum
2.         Umbi-umbian
Umbi-umbian yang mengandung banyak vitamin A adalah ubi kuning, ubi kuning kukus, ubi jalar merah, ubi rambat merah,
3.         Biji-bijian
Dari biji-bijian atau kacang-kacangan adalah kacang ercis dan kacang merah


4.         Sayuran
Sayuran yang mengandung banyak vitamin A diantaranya bakung, bayam, bayam keripik goreng, bunkil daun talas, bayam merah, daun genjer, daun jambu, daun jambu mete, daun kacang panjangl, serta daun hijauan lainnya, Gandaria, kacang panjang, kankung, kol cina, labu kuning, pak soy, putri malu, ranti muda, rumput laut, sawi, semanggi, terong hintalo dan wortel.
5.         Buah-buahan
Contohnya adalah apel, buah negeri, kesemek, mangga, pepaya, pisang, sowa serta sukun.
6.         Hewani
Sumber vitamin A Hewani berasal dari daging ayam, bebek, ginjal domba, hati sapi, hati ayam, sosis hati, berbagai jenis ikan (baronang, cakalang, gabus, kawalinya, kima, lehoma, malugis, rajungan, sarden, sunu, titang dan tongkol), telur ikan dan juga telur asin.
7.         Hasil olahan
Selain vitamin A alami ada juga yang berasal dri olahan seperti kelapa, susu, mentega, minyak ikan, minyak kelapa sawit, tepung ikan serta tepung susu.
Makanan yang mengandung vitamin A Tinggi
·                hati (sapi, babi, ayam, kalkun, ikan) (6500 mg 722%)
·                wortel (835 ug 93%)
·                brokoli daun (800 mg 89%)
·                ubi jalar (709 mg 79%)
·                mentega (684 mg 76%)
·                kangkung (681 ug 76%)
·                bayam (469 ug 52%)
·                labu (400 mg 41%)
·                collard hijau (333 mg 37%)
·                Keju cheddar (265 mg 29%)
·                melon melon (169 mg 19%)
·                telur (140 mg 16%)
·                aprikot (96 mg 11%)
·                pepaya (55 mg 6%)
·                mangga (38 mg 4%)
·                kacang (38 mg 4%)
·                brokoli (31 mg 3%)
·                susu (28 mg 3%)
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
1.    Kekurangan vitamin A diantaranya disebabkan karena konsumsi vitamin A yang kurang dari kebutuhan harian, terkena penyakit infeksi, dan kurangnya kesadaran mengenai pentingnya vitamin A untuk kesehatan tubuh dan mata.
2.    Apabila gejala-gejala kekurangan vitamin A tidak segera diobati, maka akan menyebabkan penyakit atau gangguan pada mata yang lebih seris dan dapat menyebabkan kebutaan.
B.      SARAN
1.    Selain petugas kesehatan Pelatihan kader posyandu yang tepat juga diperlukan untuk melakukan penyuluhan atau melakukan survei pada setiap penduduk untuk mengetahui apakah ada keluarga yang anggotanya terkena KVA.
2.    Promosi juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penambahan balita atau masyarakat terkena KVA, yatu dengan mengadakan penerbitan buletin kesehatan setiap minggu atau setiap bulan dan diberikan kepada masyarakat, untuk menambah kesadaran dan pengetahuan betapa pentingnya hidup sehat.







                                                                 DAFTAR PUSTAKA
Sommer, Alfred. 2005. Defisiensi Vitamin A dan Akibatnya. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Gibney, Michael J, dkk. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Sacher, Roland A dan Richard A MacPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedikteran (EGC).
Iselbacher, dkk. 2000. Harrison : Prinsi-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Behran, Kliegman dan Arvin. 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Kamis, 18 Desember 2014

Penyakit Pertusis (Bordetella pertusis)

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya kami diberikan kesehatan serta kemampuan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah berjudul “Penyakit Pertusis” dengan lancar tanpa halangan suatu apapun.
Dalam makalah ini penulis mengahrapkan agar makalah ini dapat di pergunakan oleh berbagai pihak terutama unutuk teman-teman sejawat serta dapat menjadi referensi pembuatan makalah tentang penyakit Pertusis selanjutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat menjadi yang lebih baik. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Kendari    Desembar  2014

Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi.Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.
Pertussis (batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi tenggorokan dengan bakteri ”Bordatella Pertussis”. Penyakit batuk rejan / juga dikenal sebagai ”Pertussis” atau dalam bahasa Inggris ”Whooping Cough” adalah satu penyakit yang menular. Pertussis bisa ditularkan melalui udara. Gejala awalnya mirip dengan infeksi saluran nafas atau lainnya yaitu pilek dengan lendir cair dan jernih, mata merah dan berair, batuk ringan, demam ringan. Pada stadium ini, kuman paling mudah menular. Setelah 1-2 minggu, timbullah stadium kedua dimana frekuensi dan derajat batuk bertambah. Stadium penyembuhan terjadi 2-4 minggu kemudian, namun batuk bisa menetap hingga lebih dari 1 bulan. Didunia terjadi sekitar 30-50 juta kasus pertahun, dan menyebabkan kematian pada 300.000 kasus.
Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia dibawah 1 tahun. 90% kasus ini terjadi dinegara berkembang. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh Bakterium Bordetella namun tidak jarang diakibatkan oleh Bordetella Parapertussis. Pertussis dikenal dengan batuk serius yang diakhiri bunyi apabila anak-anak bernafas. Ia juga disertasi dengan selema, bersin dan demam yang tidak begitu panas. Selain menyerang anak-anak batuk pertussis juga menyerang bayi berusia dibawah 1 tahun, ini disebabkan karena ia belum mendapatkan vaksin. Untuk itu anak-anak diberi vaksin DPT yang diberikan pada 2 bulan, 3 bulan dan akhirnya 5 bulan dari dosis tambahan pada usia 18 bulan. Vaksin ini berkisar selama 5 tahun. Penyakit ini lama-kelamaan dapat menyebabkan kematian. Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama batuk. Merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate  sebesar 80-100% pada penduduk yang rentan, dengan pertama kali dikenali pada abad pertengahan (tahun 1640) oleh Guillaume de Baillou dan isolasi B. pertussis sebagai etiologi dilaporkan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906. Untuk itulah kami menyusun makalah yang berjudul ”Penyakit Pertusis”.
1.2  Rumusan msalah
1.      Apa definisi pertusis?
2.      Bagaimana etiologi terjadinya pertusis?
3.      Bagaimana manifestasi klinis dari pertusis?
4.      Bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis?
5.      Apa saja Uji Laboratorium Diagnostik untuk Peyakit pertusis?
6.      Bagaimana pengobatan dan pencegahan dari pertusis?
1.3  Tujuan
1        Tujuan umum
Masyarakat mengetahui apa itu penyakit pertusis
2        Tujuan Khusus
Masyarakat mamapu untuk mencegah penyakit pertusis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
         
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. Penyakit saluran nafas ini  disebabkan oleh Bordetella pertusis, nama lain penyakit ini adalah tussis quirita, whooping coagh, batuk rejan. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu sebutan untuk pertussis di Cina adalah “batuk 100 hari”.
Penyakit ini menimbulkan Serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi berbising dan juga dengan suara pernapasan dalam bernada tinggi atau melengking.

2.2.  Etiologi

Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif, tidak  bergerak,  dan ditemukan  dengan  melakukan  swab  pada  daerah nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer, 2000)
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain:
1.         Berbentuk batang (coccobacilus).
2.         Tidak dapat bergerak.
3.         Bersifat gram negatif.
4.         Tidak berspora, mempunyai kapsul.
5.         Mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10ºC).
6.         Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
7.         Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap penicillin.
B.pertusis menghasilkan toksin dan substansi yang mengiritasi permukaan sel, menyebabkan batuk dan limfositosis yang nyata. Kemudian, mungkin terjadi nekrosis bagian epitelium dan infiltrasi polimorfonuklear dengan inflamasi peribronkhial dan pneumonia interstitial.

2.3  Manifestasi klinik

Masa tunas 7 – 14 hari. Penyakit ini dapat berlangsung selama 6 minggu atau lebih dan terbagi dalam 3 stadium:
1.         Stadium kataralis
a.  Lamanya 1-2 minggu
b. Gejala permulaannya yaitu timbulnya gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, yaitu timbulnya rinore dengan lender yang jernih.
1)    Kemerahan konjungtiva, lakrimasi
2)    Batuk dan panas ringan
3)    Anoreksia kongesti nasalis
c.  Selama masa ini penyakit sulit dibedakan dengan common cold
d. Batuk yang timbul mula-mula malam hari, siang hari menjadi semakin hebat, sekret pun banyak dan menjadi kental dan lengket.
3           Stadium paroksismal :  2-4 minggu
Jumlah dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak yang menimbulkan “whoop” ( udara dihisap secara kuat melalui glotis yang sempit). Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan. Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug” pada saluran nafas menghilang. Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva. Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”. Anak tampak apatis dan berat badan menurun. Serangan-serangan dapat dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik atau malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih enak. “Whoop” dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda.
3.    Stadium konvalesensi
Berlangsung selama 2 minggu sampai sembuh pada minggu ke – 4 jumlah dan beratnya serangan batuk berkurang. Juga muntah berkurang, nafsu makan pun timbul kembali. Ronki difus yang terdapat pada stadium spas,odik mulai menghilang. Infaksi semacam “Common Cold” dapat menimbulkan serangan batuk lagi.

2.4 Patofisiologi

Bordella merupakan kokobasili gram negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara aerobik pada agar darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan dengan faktor tikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya.
Bordella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP
Jalur infeksi yang umum pada manusia adalah saluran intestinal (konsumsi susu yang terinfeksi), membran mukosa (droplet), dan kulit (kontak dengan jaringan binatang yang terinfeksi). Keju yang dibuat dari susu kambing yang tidak dapat dipasteurisasi biasanya sering menjadi sumber pembawa infeksi. Organisme tersebut berkembang dari jalan masuknya melalui aliran limfatik dan kelenjar getah bening regional, ke duptus torasik dan pendarahan, yang akan membawa organisme ini organ-organ parenkim. Nodule granulomatosa yang dapat berkembang menjadi bentuk abses pada jaringan limfatik, hati, limpa, sumsum tulang, dan bagian sistem retikuloendotelial lainnya. Pada lesi-lesi seperti itu, brusella secara prinsip berada intarselular. Kadang-kadang juga dapat teradi osteomielitis, meningitis, atau kolesistitis. Reaksi histologi utama pada bruselosis terdiri dari proliferasi sel mononuklear, eksudasi fibrin, nekrosis koagulasi, dan fibrosis. Granuloma terdiri dari sel epitel dan sel raksasa, dengan nekrosisi sentral dan ribrosis perifer.

2.5  Uji Laboratorium Diagnostik
Ada beberapa cara pemeriksaan penyakit pertusis di laboratorium yaitu:
1.    spesimen
pencucian nasal dengan larutan saline adalah spesimen yang dipilih. Usapan nasofaring atau droplet yang dikeluarkan dari batuk ke dalam “cawan batuk” yang dipegang di depan mulut pasien selama batuk paroksimal kadang-kadang digunakan tetapi tidak sebagus pencucian nasal dengan larutan saline,
2.    Uji Antibodi Flouresens (FA) Lagsung
Reagen FA dapat digunakan untuk memeriksa usapan neosafaring. Walaupun demikian hasil positif palsu dan negatif palsu dapat terjadi. Sensitivitasnya sekitar 50%. Uji FA paling berguna dalam mengidentifikasi B.pertusis setelah biakan pada madia solid
3.    Biakan
Cairan hasil pencucian nasal dengan saline dibiakkan pada agar medium solid. Antibiotik di dalam media cenderung untuk menghambat flora respirasi yang lain tetapi memungkinkan pertumbuhan B.pertusi. organisme diidentifikasi dengan pewarnaan immunofluoresens atau dengan aglutinasi slide menggunakan antiserum spesifik.


4.    Reaksi Rantai Polimerase
PCR adalah metode yang paling sensitif untuk mendiagnosis pertusis. Primer untuk B.pertusis harus tercakup. Jika memungkinkan, uji PCR harus dapat menggantikan biakan dan uji flouresens antibodi langsung.
5.    Serologi
Uji serologi pada pasien mempunyai peran yang tidak begitu penting dalam membuat diagnosis karena peningkatan aglutinasi atau presipitasi antibodi tidak terjadi sampai minggu ketiga perjalanan penyakit. Serum tungal denga titer antibodi yang tinggi dapat berguna dalam mendiagnosis penyakit batuk lama, satu dari durasi beberapa minggu.
2.6    Pengobatan
B.pertusis sensitif terhadap beberapa antimikroba in vitro. Pemberian eritromisin selama fase kataral penyakit membantu menghilangkan organisme dan dapat bersifat profilaksis. Pengobatan setelah awitan fase paroksimal jarang merubah fase klinis penyakit. Inhalasi oksigen dan sedasi dapat mencegah kerusakan pada otak akibat anoksia.
Pengobatan : -    eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis dari nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika diberikan terlambat.
-       Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi
-       Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik. - Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
-       Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
-       Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.






           
2.7  Pencegahan

1.    Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secarapasif:
a.        Secara aktif
1)        Dengan pemberian imunisasi DPT dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan(DPT tidak boleh dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DPT-1 deberikan pada umur 2 bulan,DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DPT selanjutnya diberikan 1 tahun setelah DPT-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DPT-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DPT. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DPT diberika pada awal sekolah dasar dalam program bulan imunisasi anak sekolah(BIAS). Beberapa penelitian menyatakan bahwa vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih awal lagi pada umur 2-4 minggu.
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
1.  Panas yang lebih dari 38 derajat celcius
2.  Riwayat kejang
3.  Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.
2)    Perawat sebagai edukator
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya kepada orang tua yang mempunyai bayi tentang bahaya pertusis dan manfaat imunisasi bagi bayi.
b.         Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemopropilaksis. Ternyata eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis untuk sementara waktu.
2.    Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:
    Isolasi:  mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
    Karantina:   kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic selama 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
    Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis






















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a.              Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi.
b.             Penyakitpertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis.
c.              Penyakit pertusis dapat dicegah dengan cara pemberian imunisasi DPT
3.2 Saran
Imunisasi sangat penting di berikan pada bayi karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap PD3I, jadi sebaiknya bayi harus diberikan Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIDL) tanpa ada yang terlewat.
















DAFTAR PUSTAKA
Arief Manjoer. 2000. “Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II”. Jakarta: EGC
Behrman, Kliegnan, Arvin. 1999. “Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol.2. Edisi 15.” Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynnm E. dkk. 1999. “Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3”. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 1997. “Perawat Anak Sakit.” Jakarta: EGC.
Suryadi. 2010. “Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2”. Jakarta: CV Sagung Seto
Shehab, Ziad M. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 2000. Chapter 42. h: 693-699.
Garna, Harry, Azhali M.S, dkk.  Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.