BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Difteri
merupakan penyakit akut yang mengancam nyawa yang disebabkan Corynebacterium diphtheriae. Difteri
bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Penyakit ini
dapat menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa, sehingga penanganannya
disesuaikan dengan usia penderita.
Pada awal tahun 1980-an terjadi
peningkatan insidensi kasus difteria
pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun
1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun
2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara
tetangga.Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung,
Makassar, Semarang, dan Palembang, melaporkan angka selama tahun 1991-1996,
dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1
tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Difteri
termasuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Adapun tujuan program
imunisasi adalah menurunkan angka kematian bayi akibat Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi ( PD3I ). Pengendalian penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi berdasarkan Kepmenkes No.1611/2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi.
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di
dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di
Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan
lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri
meninggal dengan gagal jantung.Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama
pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak.
Dari uraian di atas dan berdasarkan permasalah yang
ada, maka kami akan membahas lebih lanjut di dalam makalah ini terkait gambaran
umum penyakit difteri, vaksinasi difteri dan persebaran penyakit difteri. Oleh
karena itu, kami mengambil judul makalah “Penyakit
Diteri”.
1.2 Rumusan
Masala
a. Apa
definisi penyakit difteri?
b. Bagaimanapatofisiologi
dan etiologi penyakit difteri?
c. Uji
laboratorium apa yang digunakan untuk diagnostik penyakit difteri?
d. Bagaimana
cara pengobatan penyakit difteri?
e. Bagaimana
epidomologi, pencegahan dan pengendalian penyakit difteri?
1.3 Tujuan
a. Tujuan
umum
Masyarakat mengetahui apa itu penyakit difteri
b. Tujuan
Khusus
Masyarakat mamapu untuk mencegah penyakit difteri.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi
Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas
dengan tanda khas ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane
pada tempat infeksi. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,
selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7
hari (FKUI: 2007).
Timbulnya lesi yang khas
disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang
dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan
yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun
pada difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler
diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema dileher
dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi
obstruksi jalan napas. Difteri
hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan
kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan
kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala
klinis difteri.
2.2 Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium
diphtheriae berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau
kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek
patoligik menyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium
diphtheriae ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage
lysis menjadi 19 tipe.
Corynebacterium diphtheriaememiliki
diameter 0,5-1µm dan panjang beberapa mikrometer. Corynebacterium bersifat khas dengan memiliki pembengakakan yang
tidak teratur pada satu ujungnya sehingga memberi gambaran “bentuk ganda”.
Granul tersebar sacara tidak teratur dalam batang (sering dekat kutub) dan dapat
diwarnai dengan bahan celupan anilin (granula metakromatik) yang memberikan
gambaran manik-manik pada batang. Setiap Corynebacterium
pada apusan diwarnai cenderung tampak sejajar atau saling membentuk sudut satu
dengan yang lain. Percabangan yang sebenarnya jarang terlihat pada biakan.
Empat biotipe C.diphtheriae
telah dikenal secara luas : gravis, mitis, intermedius, dan balfanti.
Varian-varian tersebut telah digolongkan berdasarkan ciri khas pertumbuhan
seperti morfologi, koloni, reaksi biokimia, dan keparahan penyekit yang
disebabkan oleh infeksi. Sangat sedikit laboratorium rujukan yang memberikan
karakteristik biotipe. Insiden difteri sangat berkurang dan hubungan keparahan
penyakit dengan biovarian tidak penting bagi penanganan kesehatan klinis atau
masyarakat terhadap kasus atau keadaan wabah, imunokimia dan metode molekular
dapat digunakan untuk menentukan isolat C.diphtheriae.
2.3
Gejala klinis Difteri
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. Panas
lebih dari 38oC
2. Ada
psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3. Sakit waktu
menelan
4. Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas,
maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan
tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih
keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil
sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan.
Pada anak tak jarang diikuti demam,
mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di
leher sering terjadi.
2.4 Patofisiologi
Toksin difteri diabsorpsi ke dalam membran mukosa dan menyebabkan destruksi
epitel dan respon radang superfisial. Epitel nekrotik melekat pada fibrin yang
menonjol dan sel-sel darah merah serta putih, sehingga terbentuk
“pseudomembran” keabuan-seringnya pada tonsil, faring atau laring. Kelenjar
getah bening regional di leher membesar, dan terdapat edema yang jelas
diseluruh. Basil difteri di dalam dabsorpsi dan menyebabkan kerusakan toksik di
tempat yang jauh, terutama digenerasi parenkimatosa, infilttrasi lemak, dan
nekrosis pada otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, kadang-kadang disertai
oendarahan makroskopis. Toksin juga menyebabkan kerusakan saraf, sering
mengakibatkan paralisis pallatum molle, otot mata, atau ekstremitas.
Difteri kulit atau luka terjadiabsorpsi toksin biasanya ringan dan efek
sistematik dapat diabaikan. Virulensi hasil difteri disebabkan oleh
kapasitasnya dalam menyebabkan infeksi, pertumbuhannya yang cepat, dan kemudian
dengancepat menguraikan toksin yang diabsorpsi secara efektif. C. Diphtheriae tidak perlu bersifat
toksigenik untuk menyebabkan infeksi lokal-misalnya di nasofaring atau
kulit-tetapi strain non toksigenik tidak menimbulkan efek toksik lokal atau
sistematik.
Tahapan infeksi C.diphtheriae
dalam menyebabkan difteri yaitu :
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di
mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital
dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita
suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit
dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk
dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar
melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,
terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan
masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau
kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi.
Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2.
Tahap
Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada
saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan
tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja
selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3.
Tahap
Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya,
di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah
robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan
lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran
udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga
anak mengalami kesulitan bernafas.
2.5 Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi
dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin),
dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC
dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
A. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California focus infeksi primer
adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat
berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi
tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari
39ºC.
1) Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior
(lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis
dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah
dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum
nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat. (4)
2) Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna
putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema
jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran
“bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan
luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral,
disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi
dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara
berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada
kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna.
3) Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita
dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi,
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring
yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.
Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian
mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan
trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria
faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan
toksemia.
B. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka
goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai
lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan
eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil
penderita dengan difteri kulit.
C. Difteri Vulvovaginal,
Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada
tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis
purulenta dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan
ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan
submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.
2.6 Uji Laboratorim Diagnostik
Uji laboratorium ini digunakkan untuk menegakkan kesan klinis dan
signifikansi epidemologi. Apusan dari hidung, tenggorokan atau lesi lainnya
yang dicurugai harus diperoleh sebelum obat-obat anti mikroba diberikan. Apusan
diwarnai dengan Methylen blue alkalis atau pewarnaan gram yang memperlihatkan
batang-batang bermanik dalam susuna yang khas.
Inokulasikan lempeng agar darah, Slant lofller, dan lempeng telurit dan
diinkubasi pada suhu 37oC. Isolat C.diphtheriae presumtif harus dijadikan subjek pada pengujian untuk
toksigenitas. Uji-uji seperti ini dilakukan hanya di laboratorium kesehatan
masyarakat rujukan. Terdapat beberapa metode, sbb:
a.
Cakram kertas filter yang mengandung antitoksin
diletakkan di atas lempeng agar. Biakan yang diuji untuk memeriksa toksigenitas
digores di atas lempeng berdekatan dengan diskus. Setelah 48 jam inkubasi,
antitoksin yang berdifusi dari biakan toksigenik dan menyebabkan pita
presipitat antara cakram dan pertumbuhan bakteri. Uji tersebut adalah metode
Elek yang dimodifikasi yang dideskripsikan oleh Unit Rujukan Difteri WHO.
b.
Metode berbasis reaksi rantai polimerase telah
dijelaskan untuk deteksi gen toxin difteri (tox).
Uji PCR untuk tox juga dapat
digunakan secara langsung pada spesimen pasien sebelum ada hasil biakan. Biakan
positif menegakkan uji pCR positif. Biakan negatif setelah terapi antibiotik
bersama dengan uji PCR yang positif menunjukkan bahwa pasien mungkin menderita
difteri.
c.
Enzim-linked
immunosorbent assay dapat digunakan untuk mendeteksi toksin difteri dari
isolat C.diphtheriae klinis.
2.7 Pengobatan Penyakit Difteri
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria.
a.
Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan
biakan hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien
tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih
2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah
dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas
kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari
0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga
agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.
b.
Pengobatan Khusus
1.
Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat
diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka
kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari
ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe
Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
|
Difteria Hidung 20.000
Intramuscular
|
Difteria Tonsil 40.000
Intramuscular / Intravena
|
Difteria Tonsil 40.000
Intramuscular / Intravena
|
Difteria Laring 40.000
Intramuscular / Intravena
|
Kombinasi lokasi diatas 80.000
Intravena
|
Difteria + penyulit, bullneck
80.000-100.000 Intravena
|
Terlambat berobat (>72 jam)
80.000-100.000 Intravena
|
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau
uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit.
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva
bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara
desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS
harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan
pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%
dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1)
2.
Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti
antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin
dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas.
Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih
unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.
Dosis : - Penisilin
prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila
hasil biakan 3 hari berturut-turut (-)
-
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. ,
tiap 6 jam selama 14 hari.
-
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari,
i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
-
Amoksisilin.
-
Rifampisin.
-
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita
dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi
sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau
kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.
3.
Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan
obat ini pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus
difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat
disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis :
Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14
hari.
c.
Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar
hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya
reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan
yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
2.8 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak
menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi
tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan
seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita
difteri ringan.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,
kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric
(yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis
0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid
per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D)
digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena
imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7
tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster,
karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena
semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin
tinggi.
Rencana (Jadwal) : - Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun ,
beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada
sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama
dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan
umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
- Untuk
anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang
mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu
dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
- Untuk anak
yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai
dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima dosis vaksin
yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai
pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali
kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
a.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak mudah
menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas
ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi.
b.
Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
c.
Penyakit difteri dapa dicegah dengan cara pemberian
imunisasi DPT
3.2
Saran
Imunisasi sangat penting di berikan
pada bayi karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap PD3I, jadi
sebaiknya bayi harus diberikan Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIDL) tanpa ada
yang terlewat.
DAFTAR PUSTAKA
Arias, Kathleen Meehan. 2000. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Kesehatan. Jakarta
: EGC.
Arvin, Berham Kliegman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: EGC.
Dr.
T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18 2.
Harmita dan Maksum Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Jakarta : EGC.
Harmita dan Maksum Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Jakarta : EGC.
Garna
Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas rahmat-Nya kami diberikan kesehatan serta kemampuan sehingga dapat
menyelesaikan tugas makalah berjudul “Penyakit Difteri” dengan lancar tanpa
halangan suatu apapun.
Dalam makalah ini penulis mengahrapkan agar makalah ini
dapat di pergunakan oleh berbagai pihak terutama unutuk teman-teman sejawat
serta dapat menjadi referensi pembuatan makalah tentang penyakit Difteri
selanjutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat menjadi yang lebih baik. Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Kendari Desembar 2014
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar