Kamis, 18 Desember 2014

Penyakit Difteri (Corynebacterium diphtheriae)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       LATAR BELAKANG
Difteri  merupakan penyakit akut yang mengancam nyawa yang disebabkan Corynebacterium diphtheriae. Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Penyakit ini dapat menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa, sehingga penanganannya disesuaikan dengan usia penderita.
Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi  kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga.Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, melaporkan angka selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Difteri termasuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Adapun tujuan program imunisasi adalah menurunkan angka kematian bayi akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi ( PD3I ). Pengendalian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berdasarkan Kepmenkes No.1611/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung.Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak.
Dari uraian di atas dan berdasarkan permasalah yang ada, maka kami akan membahas lebih lanjut di dalam makalah ini terkait gambaran umum penyakit difteri, vaksinasi difteri dan persebaran penyakit difteri. Oleh karena itu, kami mengambil judul makalah “Penyakit Diteri”.

1.2     Rumusan Masala
a.       Apa definisi penyakit difteri?
b.       Bagaimanapatofisiologi dan etiologi penyakit difteri?
c.       Uji laboratorium apa yang digunakan untuk diagnostik penyakit difteri?
d.      Bagaimana cara pengobatan penyakit difteri?
e.       Bagaimana epidomologi, pencegahan dan pengendalian penyakit difteri?

1.3     Tujuan
a.    Tujuan umum
Masyarakat mengetahui apa itu penyakit difteri
b.    Tujuan Khusus
Masyarakat mamapu untuk mencegah penyakit difteri.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari (FKUI: 2007).
Timbulnya  lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema dileher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.

2.2 Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik menyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.
Corynebacterium diphtheriaememiliki diameter 0,5-1µm dan panjang beberapa mikrometer. Corynebacterium bersifat khas dengan memiliki pembengakakan yang tidak teratur pada satu ujungnya sehingga memberi gambaran “bentuk ganda”. Granul tersebar sacara tidak teratur dalam batang (sering dekat kutub) dan dapat diwarnai dengan bahan celupan anilin (granula metakromatik) yang memberikan gambaran manik-manik pada batang. Setiap Corynebacterium pada apusan diwarnai cenderung tampak sejajar atau saling membentuk sudut satu dengan yang lain. Percabangan yang sebenarnya jarang terlihat pada biakan.
Empat biotipe C.diphtheriae telah dikenal secara luas : gravis, mitis, intermedius, dan balfanti. Varian-varian tersebut telah digolongkan berdasarkan ciri khas pertumbuhan seperti morfologi, koloni, reaksi biokimia, dan keparahan penyekit yang disebabkan oleh infeksi. Sangat sedikit laboratorium rujukan yang memberikan karakteristik biotipe. Insiden difteri sangat berkurang dan hubungan keparahan penyakit dengan biovarian tidak penting bagi penanganan kesehatan klinis atau masyarakat terhadap kasus atau keadaan wabah, imunokimia dan metode molekular dapat digunakan untuk menentukan isolat C.diphtheriae.

2.3 Gejala klinis Difteri
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1.    Panas lebih dari 38oC
2.    Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3.    Sakit  waktu  menelan
4.    Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak  jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi.
2.4  Patofisiologi
Toksin difteri diabsorpsi ke dalam membran mukosa dan menyebabkan destruksi epitel dan respon radang superfisial. Epitel nekrotik melekat pada fibrin yang menonjol dan sel-sel darah merah serta putih, sehingga terbentuk “pseudomembran” keabuan-seringnya pada tonsil, faring atau laring. Kelenjar getah bening regional di leher membesar, dan terdapat edema yang jelas diseluruh. Basil difteri di dalam dabsorpsi dan menyebabkan kerusakan toksik di tempat yang jauh, terutama digenerasi parenkimatosa, infilttrasi lemak, dan nekrosis pada otot jantung, hati, ginjal, dan adrenal, kadang-kadang disertai oendarahan makroskopis. Toksin juga menyebabkan kerusakan saraf, sering mengakibatkan paralisis pallatum molle, otot mata, atau ekstremitas.
Difteri kulit atau luka terjadiabsorpsi toksin biasanya ringan dan efek sistematik dapat diabaikan. Virulensi hasil difteri disebabkan oleh kapasitasnya dalam menyebabkan infeksi, pertumbuhannya yang cepat, dan kemudian dengancepat menguraikan toksin yang diabsorpsi secara efektif. C. Diphtheriae tidak perlu bersifat toksigenik untuk menyebabkan infeksi lokal-misalnya di nasofaring atau kulit-tetapi strain non toksigenik tidak menimbulkan efek toksik lokal atau sistematik.
Tahapan infeksi C.diphtheriae dalam menyebabkan difteri yaitu :
1.    Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.

2.         Tahap  Penyakit  Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3.         Tahap  Penyakit  lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

2.5  Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae (kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
A.   Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39ºC.
1)  Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. (4)
2)  Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
3)  Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteria faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.


B.    Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema, dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit.
C.    Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.

2.6  Uji Laboratorim Diagnostik
Uji laboratorium ini digunakkan untuk menegakkan kesan klinis dan signifikansi epidemologi. Apusan dari hidung, tenggorokan atau lesi lainnya yang dicurugai harus diperoleh sebelum obat-obat anti mikroba diberikan. Apusan diwarnai dengan Methylen blue alkalis atau pewarnaan gram yang memperlihatkan batang-batang bermanik dalam susuna yang khas.
Inokulasikan lempeng agar darah, Slant lofller, dan lempeng telurit dan diinkubasi pada suhu 37oC. Isolat C.diphtheriae presumtif harus dijadikan subjek pada pengujian untuk toksigenitas. Uji-uji seperti ini dilakukan hanya di laboratorium kesehatan masyarakat rujukan. Terdapat beberapa metode, sbb:
a.         Cakram kertas filter yang mengandung antitoksin diletakkan di atas lempeng agar. Biakan yang diuji untuk memeriksa toksigenitas digores di atas lempeng berdekatan dengan diskus. Setelah 48 jam inkubasi, antitoksin yang berdifusi dari biakan toksigenik dan menyebabkan pita presipitat antara cakram dan pertumbuhan bakteri. Uji tersebut adalah metode Elek yang dimodifikasi yang dideskripsikan oleh Unit Rujukan Difteri WHO.
b.         Metode berbasis reaksi rantai polimerase telah dijelaskan untuk deteksi gen toxin difteri (tox). Uji PCR untuk tox juga dapat digunakan secara langsung pada spesimen pasien sebelum ada hasil biakan. Biakan positif menegakkan uji pCR positif. Biakan negatif setelah terapi antibiotik bersama dengan uji PCR yang positif menunjukkan bahwa pasien mungkin menderita difteri.
c.         Enzim-linked immunosorbent assay dapat digunakan untuk mendeteksi toksin difteri dari isolat C.diphtheriae klinis.

2.7  Pengobatan Penyakit Difteri
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.


a.         Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
b.         Pengobatan Khusus
1.      Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat sampai 30%.
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness) (1)
2.      Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring.
Dosis :    -    Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-)
-          Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
-          Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis.
-          Amoksisilin.
-          Rifampisin.
-          Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.
3.        Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
c.         Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
2.8  Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan.
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
Rencana (Jadwal) :   -    Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
-       Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
-       Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.











BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
a.              Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi.
b.             Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
c.              Penyakit difteri dapa dicegah dengan cara pemberian imunisasi DPT

3.2              Saran
Imunisasi sangat penting di berikan pada bayi karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap PD3I, jadi sebaiknya bayi harus diberikan Lima Imunisasi Dasar Lengkap (LIDL) tanpa ada yang terlewat.




DAFTAR PUSTAKA

Arias, Kathleen Meehan. 2000. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Kesehatan. Jakarta : EGC.
Arvin, Berham Kliegman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: EGC.
Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18 2.
Harmita dan Maksum Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Jakarta : EGC.
Harmita dan Maksum Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati. Jakarta : EGC.
Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 173-176









KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya kami diberikan kesehatan serta kemampuan sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah berjudul “Penyakit Difteri” dengan lancar tanpa halangan suatu apapun.
Dalam makalah ini penulis mengahrapkan agar makalah ini dapat di pergunakan oleh berbagai pihak terutama unutuk teman-teman sejawat serta dapat menjadi referensi pembuatan makalah tentang penyakit Difteri selanjutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat menjadi yang lebih baik. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Kendari    Desembar  2014

Penulis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar